Surabaya, 30 Januari 2015.
Mbah Na’am berkeliling sambil memukul-mukul kenongan di gang-gang kompleks perumahan militer, di belakang Kodam V Brawijaya, tempat tinggalku dulu pada tahun 1973-1992. Rumahnya di Pulosari, perkampungan sebelah. Kini komplek itu dan kampungnya tampak sama, tak ada kampung. Ada Indomaret dikeduannya. Kompleks kami dan perkampungannya hanya dipisahkan oleh sungai Mir yang bermuara ke bendungan Rolak, pengendali luapan air Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Mbah Na’am berkeliling sambil memukul-mukul kenongan di gang-gang kompleks perumahan militer, di belakang Kodam V Brawijaya, tempat tinggalku dulu pada tahun 1973-1992. Rumahnya di Pulosari, perkampungan sebelah. Kini komplek itu dan kampungnya tampak sama, tak ada kampung. Ada Indomaret dikeduannya. Kompleks kami dan perkampungannya hanya dipisahkan oleh sungai Mir yang bermuara ke bendungan Rolak, pengendali luapan air Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Usianya berkisar 70 tahun kala itu. Meski renta tapi sura Mbah Na'am sangat lantang tiap kali mengumumkan kematian salah seorang warga kompleks atau kampungnya. Yang diumumkan sering kali tentang kematian, juga kelahiran, kadang juga tentang pertunjukan Reog yang akan segera diselenggarakan pada sore hari hingga menjelang magrib di halaman samping rumahnya. Dan aku yang kala itu masih kecil, kira-kira kelas 5 SD bergegas membaur lalu merangsek kebaris paling depan dalam kerumunan itu, tak ingin kehilangan satupun adegan-adegan yang dipertontonkan. Pada masa itu, setidaknya 3 kali pertunjukan Reog digelar dalam rentang waktu yang tak tertata. Saya takjub setiap kali pertunjukan digelar, dan tak pernah melupakan adegan-adegan se-fantastis itu.
Laiknya debus, benda tumpul tak berarti, tapi apapun yang tajam menghujam tak melukai. Makan beling, mengunyah paku, melahap bola-bola api sembari berjalan atau bergumul dengannya tak juga membuatnya melepuh. Atau dirajam lecutan pecut yang hanya menyisahkan garis berona merah pada tubuh-tubuh itu. Pertunjukan Reog se-original itu dulu tak akan pernah kau jumpai lagi pada masa kini. Mereka seperti menghilang. Pergi bersama mbah Na’am.
Tak bisa dijelaskan dengan logika telanjang adegan-adegan yang di pertontonkan dalam pertunjukan itu. Hanya raga kebal atau ilmu kanuragan yang sangat mumpuni yang kasat mata. Mereka seperti sedang meminjam energi dari jiwa-jiwa yang bertebaran di jagad semesta, entah apa…Ada burung merak yang indah gemulai dan menggoda, juga harimau yang siap menerkam dengan sorot mata tajam. Lalu kuda yang berjingkat anggun tapi lumping jingkraknya, liar. Energi yang dipancarkan dalam arena itu seperti tengah bertempur dalam sebuah medan yang saling tarik-menarik, merenggut, merebut, memangsa, mempengaruhi, menguasai. Seperti pertunjukkan tentang manusia, tentang kehidupanya, tetang sifat-sifatnya.
Tapi hingga kini aku terus mengaguminya karena kutemukan banyak makna darinya. Pertunjukkan itu persis seperti adegan-adegan politik di negeriku hari ini bila membaca koran atau menonton televisi. Ada akrobat, sirkus, lalu drama, roman picisan, heroism, juga hedonisme disana. Makna yang secara personal aku tangkap mungkin seperti mencoba memahami epic-epic yang diceriterakan dalam kitab yang diajarkan kepadaku atau dari kitab-kitab lain yang sempat kubaca. Tapi ini hidupku, aku harus terus bergerak maju. Seperti perjalanan yang terus menghimpun energi untuk menemukan jiwa ditengah kebisingan jiwa-jiwa lain.
Surabaya, 31 Januari 2015.
No comments:
Post a Comment