Saturday 31 January 2015

IBU PERTIWI


Oil on Canvas 100x75 Cm


IBU PERTIWI by Hasrul Kokoh (2015)


THE STORY OF HOTONG
*Curator: Helena Rea.

Surabaya, 31 January 2015.    

Moluccas is the land that is famous for cloves, which had attracted Portuguese colonizing the land for more than 400 years. The following story is not about cloves, but the ‘Hotong’. It is the customary carbohydrate for the Tanimbar-Key Island communities in the Upper North Southeast Moluccas. They learned from generation to generation that the family ought to set aside the Hotong in a strongbox after the harvest season. It was wise advice of saving their resources.  

At my first encounter with the Hotong, I thought it was wild flower seeds. As I jiggled the branches, the tiny bits of sandy brown grains spread. Hotong has three types of colours: orange, yellow, and black, which can only be recognized when the flower is dry.

The Hotong needs special treatment. It has to be kept in leaf-based vessels, made by the women to secure the Hotong. They will offer that up during the traditional harvest ceremony and hand it to the King of Tan-Kei. Once it is stored in the barn, it can last for decades.

According to the Tan-Kei Customary law, the Hotong that is stored aims to secure the seed and farming situations when the farmers have to go through extreme seasons, natural disasters, and shortage supplies. When the conflict broke out in Ambon in 2011, the barns supplied the refugees with various hotong-based cuisine such as Wajik Legit and Lemang.

The Hotong is needed for daily consumption and celebrations, as well as for gifts, including wedding gifts, birthday gifts, etc. The hotong is the symbol of happiness and well-being. It is believed that they will never suffer from shortages of food stocks. There are more they keep in their garden including bananas, cassavas, and peanuts, as well as breeding cattle and fish, goats, and poultry. The women are the living Goddesses. They always share the Hotong in abundance: packages and smiles. 


-End-




KISAH HOTONG


Surabaya, 31 Januari 2015.      

Hotong masih menjadi sumber karbohidrat utama di Kampung Adat Tanimbar Kei (Tan-Kei), pulau paling ujung tenggara Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara. Tiap-tiap keluarga wajib menyisihkan segantang untuk disimpan di lumbung Adat setiapkali usai masa panen. Saat pertama kali ditunjukkan, aku pikir ini bunga semak, ternyata bila di kibas-kibas dengan sedikit tenaga, bulir-bulir mungil kecoklatan luruh seperti pasir pantai. Hotong rupanya memiliki 3 jenis dan baru bisa dikenali bila telah kering. Ada yang berwarna Jingga, kuning, dan hitam.

Sebelum diserahkan ke lumbung yang berada di kampung tua kompleks para raja dan tua adat Tan-Kei tinggal, para ibu menganyam wadah sebentuk botol dari pandan pantai. Tak sebulirpun lungsur bila sudah terperangkap didalamnya, Ia bahkan bisa bertahan hingga puluhan tahun dalam lumbung.

Hukum adat Tan-Kei mengatur, stok hotong yang tersimpan dalam lumbung bisa dimanfaatkan bila terjadi musibah atau bencana alam, termasuk bila masa paceklik terjadi. Ketika kerusuhan Ambon pecah pada 2011, lumbung ini berfungsi menyajikan wajik legit dan lemang nikmat kepada mereka yang mengungsi ke Tanimbar Kei dari berbagai kampung dan pulau-pulau di sekitar Maluku. 

Para ibu telah membagi hasil panenan untuk menjaga siklusnya. Sebagian untuk dikonsumsi, sebagian bila ada acara keluarga, menyambut tamu jauh, acara di kampung: sumbangan kematian, bingkisan kelahiran, hadiah pernikahan atau perayaan kuningan dan saraswati, natal, waisak, Idul Fitri. Dan yang paling penting stok bibit untuk masa tanam berikutnya.

Saat menyaksikan para ibu Tan-Kei menumbuk hotong dalam lesung sambil bersenandung dengan senyum dan peluh, saya yakin mereka tak akan pernah kehabisan bahan makanan, karena mereka juga merawat ayam, kambing, sapi, ikan dan kerang-kerang di laut, kebun kelapa, pisang, jagun, ubi, ketela dan talas, kacang tanah, kacang hijau dan hitam, pohon mangga, asam jawa, buah labu, cabai – tomat dan sayuran, serta beragam buah-buahan. Seperti Dewi perawat kehidupan – penyedia makanan.


-Selesai-

Baca juga:



Friday 30 January 2015

REOG

REOG ~ Sketch on Canvas 120x60 Cm

Mbah Na’am berkeliling sambil memukul-mukul kenongan di gang-gang kompleks perumahan militer, di belakang Kodam V Brawijaya, tempat tinggalku dulu pada tahun 1973-1992. Rumahnya di Pulosari, perkampungan sebelah. Kini komplek itu dan kampungnya tampak sama, tak ada kampung. Ada Indomaret dikeduannya.  Kompleks kami dan perkampungannya hanya dipisahkan oleh sungai Mir yang bermuara ke bendungan Rolak, pengendali luapan air Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya, Jawa Timur.

Usianya berkisar 70 tahun kala itu. Meski renta tapi sura Mbah Na'am sangat lantang tiap kali mengumumkan kematian salah seorang warga kompleks atau kampungnya. Yang diumumkan sering kali tentang kematian, juga kelahiran, kadang juga tentang pertunjukan Reog yang akan segera diselenggarakan pada sore hari hingga menjelang magrib di halaman samping rumahnya. Dan aku yang kala itu masih kecil, kira-kira kelas 5 SD bergegas membaur lalu merangsek kebaris paling depan dalam kerumunan itu, tak ingin kehilangan satupun adegan-adegan yang dipertontonkan. Pada masa itu, setidaknya 3 kali pertunjukan Reog digelar dalam rentang waktu yang tak tertata. Saya takjub setiap kali pertunjukan digelar, dan tak pernah melupakan adegan-adegan se-fantastis itu. 

Laiknya debus, benda tumpul tak berarti, tapi apapun yang tajam menghujam tak melukai. Makan beling, mengunyah paku, melahap bola-bola api sembari berjalan atau bergumul dengannya tak juga membuatnya melepuh. Atau dirajam lecutan pecut yang hanya menyisahkan garis berona merah pada tubuh-tubuh itu. Pertunjukan Reog se-original itu dulu tak akan pernah kau jumpai  lagi pada masa kini. Mereka seperti menghilang. Pergi bersama mbah Na’am.

Tak bisa dijelaskan dengan logika telanjang adegan-adegan yang di pertontonkan dalam pertunjukan itu. Hanya raga kebal atau ilmu kanuragan yang sangat mumpuni yang kasat mata. Mereka seperti sedang meminjam energi  dari jiwa-jiwa yang bertebaran di jagad semesta, entah apa…Ada burung merak yang indah gemulai dan menggoda, juga harimau yang siap menerkam dengan sorot mata tajam. Lalu kuda yang berjingkat anggun tapi lumping jingkraknya, liar. Energi yang dipancarkan dalam arena itu seperti tengah bertempur dalam sebuah medan yang saling tarik-menarik, merenggut, merebut, memangsa, mempengaruhi, menguasai. Seperti pertunjukkan tentang manusia, tentang kehidupanya, tetang sifat-sifatnya.

Tapi hingga kini aku terus mengaguminya karena kutemukan banyak makna darinya. Pertunjukkan itu persis seperti adegan-adegan politik di negeriku hari ini bila membaca koran atau menonton televisi. Ada akrobat, sirkus, lalu drama, roman picisan, heroism,  juga hedonisme disana. Makna yang secara personal aku tangkap mungkin seperti mencoba memahami epic-epic yang diceriterakan dalam kitab yang diajarkan kepadaku atau dari kitab-kitab lain yang sempat kubaca. Tapi ini hidupku, aku harus terus bergerak maju. Seperti perjalanan yang terus menghimpun energi untuk menemukan jiwa ditengah kebisingan jiwa-jiwa lain.


Surabaya, 30 Januari 2015.