Tuesday, 8 December 2015
Saturday, 21 February 2015
TANIMBAR KEI
Pulau
Tanimbar Kei terletak di gugusan pulau Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara,
provinsi Maluku. Ohoi Tanimbar Kei adalah kampung adat yang memegan teguh pranata
adatnya hingga kini. Ohoi merupakan sebutan lain dari kampung yang lazim
digunakan di Kei. Tanimbar Evav adalah nama bagi wilayah ini yang merupakan bagian
dari wilayah kekuasaan Raja Nufit, tepatnya Nufit Roa.
Di
Ohoi ini hukum adat berlaku kuat dan dipatuhi seluruh warganya. begitu pula
bagi warga luar maupun pendatang, juga mereka yang datang bertandang. Hukum
adat Tan Kei memayungi semua aspek kehidupan antar manusia dan keselarasan
hubungannya dengan alam, dan semesta.
Siklus
alam sangat dipahami orang-orang Tanimbar Kei untuk dijaga keberlangsungannya
demi kehidupan mereka. Alam memberikan makanan yang tak henti bila mereka mampu
merawatnya. Bahkan bila berlebih dapat digunakan untuk membantu kerabat lainnya
yang berkekurangan makanan. Konsep hak dan kewajiban berlangsung imbang disini.
Berbagai
pengetahuan tentang keseimbangan alam tersebut diwariskan dari generasi ke
generasi. Orang Tanimbar Kei sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat
leluhurnya. Mereka mensyukuri kecukupan kebutuhan sandang, pangan dan papanya
dengan mematuhi aturan adat yang berlaku seperti ‘Sasi’, yang dipahami sebagai ‘larangan’
apabila dijalankan dengan konsisten akan memberikan sumber kehidupan yang tak
putus untuk mereka.
Larangan
berlaku bagi objek vital menyangkut kepentingan bersama seperti hutan dengan
mata airnya, siklus memanfaatkan kebun-kebun kelapa, masa tanam tanaman semusim
serperti hotong, merawat areal bakau sebagai tempat asuhan berbagai jenis benih
ikan laut, padang lamun sebagai habitat lola dan teripang. Hukum adat Sasi itu mengatur
masa-masa pelarangan dan pemanfaatanya. Seperti jedah, reses atau istirahat, untuk
tidak diusik guna memberikan kesempatan reproduksi.
Saat
pertama kali menjejakkan kaki di Ohoi Tanimbar Kei, saya merasakan suasana
magis begitu kental. Kampung tua yang berada di bukit tebing, tempat para tua
adat Tan Kei tinggal seperti mengawasi. Terdapat tiga buah tangga dengan
puluhan anak tangga yang cukup curam menuju ke kompleks itu.
Letak
tangga-tangga tersebut berada ditiga tempat berbeda yang menghubungkannya dengan
perumahan warga di tepian pantai. Wajib bagi siapapun yang baru datang untuk membawa
‘Sirih Pinang’ menemui tetua adat. Mereka perlu mengetahui maksud dan tujuan
pendatang untuk dikabarkan kepada para leluhurnya. Leluhur akan memberi
pertanda kepada mereka dan memutuskan apakah kau diterima dirumah mereka. Kau
tak akan tinggal lama dikampung ini bila berniat buruk.
Dan
malam itu saya patuh membawa sebentuk wadah dengan sirih dan pinang untuk menemui
tetua adat Tanimbar Kei, memberi penghormatan, dan menyampaikan maksud dan
tujuan saya bertandang ke Tanimbar Kei, “Saya
ingin belajar dari teman-teman Tanimbar Kei tentang bagaimana merawat sumber
daya alam.”
-Selesai-
Thursday, 12 February 2015
Monday, 9 February 2015
Saturday, 31 January 2015
IBU PERTIWI
Oil on Canvas 100x75 Cm
IBU PERTIWI by Hasrul Kokoh
(2015)
THE STORY OF HOTONG
*Curator: Helena Rea.
Surabaya, 31 January 2015.
*Curator: Helena Rea.
Surabaya, 31 January 2015.
Moluccas is the land that
is famous for cloves, which had attracted Portuguese colonizing the land for
more than 400 years. The following story is not about cloves, but the ‘Hotong’.
It is the customary carbohydrate for the Tanimbar-Key Island communities in the
Upper North Southeast Moluccas. They learned from generation to generation that
the family ought to set aside the Hotong in a strongbox after the harvest
season. It was wise advice of saving their resources.
At my first encounter with the Hotong, I
thought it was wild flower seeds. As I jiggled the branches, the tiny bits of
sandy brown grains spread. Hotong has three types of colours: orange, yellow,
and black, which can only be recognized when the flower is dry.
The Hotong needs special treatment. It has to be
kept in leaf-based vessels, made by the women to secure the Hotong. They will
offer that up during the traditional harvest ceremony and hand it to the King
of Tan-Kei. Once it is stored in the barn, it can last for decades.
According to the Tan-Kei Customary law, the Hotong
that is stored aims to secure the seed and farming situations when the farmers
have to go through extreme seasons, natural disasters, and shortage supplies.
When the conflict broke out in Ambon in 2011, the barns supplied the refugees
with various hotong-based cuisine such as Wajik Legit and Lemang.
The Hotong is needed for daily consumption and celebrations, as well as for gifts, including wedding gifts, birthday gifts, etc. The hotong is the symbol of happiness and well-being. It is believed that they will never suffer from shortages of food stocks. There are more they keep in their garden including bananas, cassavas, and peanuts, as well as breeding cattle and fish, goats, and poultry. The women are the living Goddesses. They always share the Hotong in abundance: packages and smiles.
The Hotong is needed for daily consumption and celebrations, as well as for gifts, including wedding gifts, birthday gifts, etc. The hotong is the symbol of happiness and well-being. It is believed that they will never suffer from shortages of food stocks. There are more they keep in their garden including bananas, cassavas, and peanuts, as well as breeding cattle and fish, goats, and poultry. The women are the living Goddesses. They always share the Hotong in abundance: packages and smiles.
-End-
KISAH HOTONG
Surabaya, 31 Januari 2015.
Hotong masih menjadi sumber karbohidrat utama di Kampung Adat Tanimbar Kei (Tan-Kei), pulau paling ujung tenggara Kepulauan Kei Kecil, Maluku Tenggara. Tiap-tiap keluarga wajib menyisihkan segantang untuk disimpan di lumbung Adat setiapkali usai masa panen. Saat pertama kali ditunjukkan, aku pikir ini bunga semak, ternyata bila di kibas-kibas dengan sedikit tenaga, bulir-bulir mungil kecoklatan luruh seperti pasir pantai. Hotong rupanya memiliki 3 jenis dan baru bisa dikenali bila telah kering. Ada yang berwarna Jingga, kuning, dan hitam.
Sebelum
diserahkan ke lumbung yang berada di kampung tua kompleks para raja dan tua
adat Tan-Kei tinggal, para ibu menganyam wadah sebentuk botol dari pandan
pantai. Tak sebulirpun lungsur bila sudah terperangkap didalamnya, Ia bahkan
bisa bertahan hingga puluhan tahun dalam lumbung.
Hukum adat
Tan-Kei mengatur, stok hotong yang tersimpan dalam lumbung bisa dimanfaatkan bila
terjadi musibah atau bencana alam, termasuk bila masa paceklik terjadi. Ketika
kerusuhan Ambon pecah pada 2011, lumbung ini berfungsi menyajikan wajik legit
dan lemang nikmat kepada mereka yang mengungsi ke Tanimbar Kei dari berbagai
kampung dan pulau-pulau di sekitar Maluku.
Para ibu
telah membagi hasil panenan untuk menjaga siklusnya. Sebagian untuk dikonsumsi,
sebagian bila ada acara keluarga, menyambut tamu jauh, acara di kampung:
sumbangan kematian, bingkisan kelahiran, hadiah pernikahan atau perayaan
kuningan dan saraswati, natal, waisak, Idul Fitri. Dan yang paling penting stok
bibit untuk masa tanam berikutnya.
Saat
menyaksikan para ibu Tan-Kei menumbuk hotong dalam lesung sambil bersenandung
dengan senyum dan peluh, saya yakin mereka tak akan pernah kehabisan bahan
makanan, karena mereka juga merawat ayam, kambing, sapi, ikan dan kerang-kerang
di laut, kebun kelapa, pisang, jagun, ubi, ketela dan talas, kacang tanah,
kacang hijau dan hitam, pohon mangga, asam jawa, buah labu, cabai – tomat dan
sayuran, serta beragam buah-buahan. Seperti Dewi perawat kehidupan – penyedia
makanan.
-Selesai-
Baca juga:
Friday, 30 January 2015
REOG
REOG ~ Sketch on Canvas 120x60 Cm
Mbah Na’am berkeliling sambil memukul-mukul kenongan di gang-gang kompleks perumahan militer, di belakang Kodam V Brawijaya, tempat tinggalku dulu pada tahun 1973-1992. Rumahnya di Pulosari, perkampungan sebelah. Kini komplek itu dan kampungnya tampak sama, tak ada kampung. Ada Indomaret dikeduannya. Kompleks kami dan perkampungannya hanya dipisahkan oleh sungai Mir yang bermuara ke bendungan Rolak, pengendali luapan air Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Mbah Na’am berkeliling sambil memukul-mukul kenongan di gang-gang kompleks perumahan militer, di belakang Kodam V Brawijaya, tempat tinggalku dulu pada tahun 1973-1992. Rumahnya di Pulosari, perkampungan sebelah. Kini komplek itu dan kampungnya tampak sama, tak ada kampung. Ada Indomaret dikeduannya. Kompleks kami dan perkampungannya hanya dipisahkan oleh sungai Mir yang bermuara ke bendungan Rolak, pengendali luapan air Kali Brantas yang membelah Kota Surabaya, Jawa Timur.
Usianya berkisar 70 tahun kala itu. Meski renta tapi sura Mbah Na'am sangat lantang tiap kali mengumumkan
kematian salah seorang warga kompleks atau kampungnya. Yang diumumkan sering
kali tentang kematian, juga kelahiran, kadang juga tentang pertunjukan Reog yang
akan segera diselenggarakan pada sore hari hingga menjelang magrib di halaman
samping rumahnya. Dan aku yang kala itu masih kecil, kira-kira kelas 5 SD
bergegas membaur lalu merangsek kebaris paling depan dalam kerumunan itu, tak
ingin kehilangan satupun adegan-adegan yang dipertontonkan. Pada masa itu, setidaknya
3 kali pertunjukan Reog digelar dalam rentang waktu yang tak tertata. Saya
takjub setiap kali pertunjukan digelar, dan tak pernah melupakan adegan-adegan se-fantastis
itu.
Laiknya debus, benda tumpul tak berarti, tapi
apapun yang tajam menghujam tak melukai. Makan beling, mengunyah paku, melahap
bola-bola api sembari berjalan atau bergumul dengannya tak juga membuatnya
melepuh. Atau dirajam lecutan pecut yang hanya menyisahkan garis berona merah
pada tubuh-tubuh itu. Pertunjukan Reog se-original itu dulu tak akan pernah kau
jumpai lagi pada masa kini. Mereka seperti
menghilang. Pergi bersama mbah Na’am.
Tak bisa dijelaskan dengan logika telanjang adegan-adegan
yang di pertontonkan dalam pertunjukan itu. Hanya raga kebal atau ilmu
kanuragan yang sangat mumpuni yang kasat mata. Mereka seperti sedang meminjam energi dari jiwa-jiwa yang bertebaran di jagad semesta,
entah apa…Ada burung merak yang indah gemulai dan menggoda, juga harimau yang
siap menerkam dengan sorot mata tajam. Lalu kuda yang berjingkat anggun tapi lumping
jingkraknya, liar. Energi yang dipancarkan dalam arena itu seperti tengah
bertempur dalam sebuah medan yang saling tarik-menarik, merenggut, merebut, memangsa,
mempengaruhi, menguasai. Seperti pertunjukkan tentang manusia, tentang
kehidupanya, tetang sifat-sifatnya.
Tapi hingga kini aku terus mengaguminya karena
kutemukan banyak makna darinya. Pertunjukkan itu persis seperti adegan-adegan politik
di negeriku hari ini bila membaca koran atau menonton televisi. Ada akrobat,
sirkus, lalu drama, roman picisan, heroism, juga hedonisme disana. Makna yang secara
personal aku tangkap mungkin seperti mencoba memahami epic-epic yang diceriterakan
dalam kitab yang diajarkan kepadaku atau dari kitab-kitab lain yang sempat
kubaca. Tapi ini hidupku, aku harus terus bergerak maju. Seperti perjalanan yang
terus menghimpun energi untuk menemukan jiwa ditengah kebisingan jiwa-jiwa lain.
Surabaya, 30 Januari 2015.
Subscribe to:
Posts (Atom)